Lompat ke konten

Tentang Perjanjian Pra-Nikah yang Wajib Kalian Ketahui

Ketika seseorang telah dewasa dan memiliki usia cukup matang untuk melangsungkan pernikahan, kemudian juga telah didukung oleh berbagai faktor seperti memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang cukup untuk menghidupi sebuah keluarga setiap bulannya, lalu apa lagi yang ditunggu? Sebelum kalian memilih paket pernikahan Jakarta mana yang akan kalian pilih,  Tentu saja restu orang tua masing-masing harus sudah ada di tangan, maka laksanakanlah pernikahan Anda.

Memang, memutuskan untuk mengubah status menjadi suami dan istri yang sah bukanlah perkara simpel. Banyak hal yang perlu dipersiapkan, baik hal-hal jasmani dan rohani, serta kondisi finansial Anda dan pasangan. Banyak pasangan merasa tidak siap dengan pergantian status mereka dan tanggung jawab yang akan dipikul di balik status mereka yang berubah itu. Kemudian tuntutan bertambah dari pihak keluarga karena menginginkan hadirnya buah hati. Belum lagi berpikir kebutuhan jangka panjang baik itu kebutuhan pribadi maupun kebutuhan keluarga yang Anda bangun.

Persiapan untuk menyelenggarakan pernikahan memang sedikit kompleks, namun bukan berarti Anda tidak menikah bukan? Untuk sedikit memberikan informasi mengenai persiapan pernikahan, informasi berikut merupakan poin-poin penting dalam persiapan pernikahan yang jarang sekali diperhatikan apalagi dipersiapkan. Padahal, poin-poin ini cukup krusial untuk menghadapi kejadian-kejadian tak terduga yang mungkin terjadi di kemudian hari. Poin penting ini dikenal dengan nama Prenuptial Agreement atau Perjanjian Pra-nikah. Apa itu?

Perjanjian pra-nikah atau prenuptial agreement adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami istri sebelum melangsungkan pernikahan. Perjanjian ini dibuat atas kesepakatan calon pasangan suami istri untuk memisahkan harta mereka ketika telah menikah. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), harta benda yang diperoleh dalam ikatan perkawinan merupakan harta bersama sehingga nantinya jika salah satu dari pasangan suami istri ingin menjual atau mengalihkan harta yang diperoleh selama perkawinan, harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pasangannya.

Sayangnya, pembuatan perjanjian pra-nikah di Indonesia masih dianggap tabu, banyak masyarakat mengartikan perjanjian ini sebagai persiapan jika di kemudian hari terjadi perceraian atau bentuk ketidakpercayaan antara calon pasangan suami istri. Padahal, perjanjian pra-nikah ini dibuat untuk melindungi harta masing-masing dan untuk menjamin keberlangsungan hidup anak nantinya. Terutama jika calon suami atau istri merupakan seorang pengusaha. Bisnis tidak dapat dijamin selalu berjalan mulus, jika sang suami atau istri memiliki utang dengan menggunakan nama pribadi dan utang tidak mampu dibayar, maka dengan adanya perjanjian pra-nikah, harta dari pasangannya tidak akan dilibatkan untuk melunasi utang tersebut.

Sengketa mengenai urusan harta dan finansial di ujung pernikahan maupun di tengah pernikahan pun bukan hal yang tidak lazim terjadi. Apabila dari awal tidak dibuat kesepakatan mengenai pemisahan harta, maka tidak menutup kemungkinan sengketa atas harta bisa terjadi berlarut-larut dan akan mempengaruhi keberlangsungan hidup anak. Agar lebih jelasnya, di bawah ini LIBERA akan menjelaskan beberapa hal penting mengenai perjanjian pra-nikah.

Perjanjian Pra-Nikah menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia

Secara hukum, perjanjian pra-nikah telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Di mana, perjanjian tersebut dibuat secara tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian ini kemudian disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Pembuatan perjanjian pra-nikah harus dibuat dalam bentuk akta otentik, artinya perjanjian harus dibuat oleh notaris. Selayaknya perjanjian pada umumnya, perjanjian pra-nikah harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Namun, akta otentik tersebut juga perlu didaftarkan kepada lembaga pencatatan perkawinan, yakni Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) agar perjanjian pra-nikah berlaku bagi pihak ketiga yang berkaitan, misalnya kreditur.

Hal Penting yang Harus Dicantumkan Dalam Perjanjian Pra Nikah

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, isi dari perjanjian pra-nikah dapat disesuaikan dengan kebutuhan calon pasangan suami dan istri yang bersangkutan selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Berikut adalah  hal-hal yang penting untuk dicantumkan dalam perjanjian pra-nikah.

a. Pemisahan Harta dan Utang
Dalam perjanjian pra-nikah, calon pasangan suami istri dapat mengatur kepemilikan dan pemisahan harta untuk menghindari penggabungan harta yang diperoleh masing-masing suami istri selama pernikahan berlangsung. Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata, pada hakikatnya harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama, kecuali terdapat perjanjian pra-nikah antara suami dan istri. Jadi, di dalam perjanjian pra-nikah, calon pasangan suami istri menegaskan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan oleh masing-masing suami atau istri adalah milik dari suami atau istri yang memperoleh harta tersebut.

Terutama jika Anda menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) dan ingin membeli tanah di Indonesia, maka tanah tersebut tidak dapat dimiliki oleh Anda sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) karena tanah tersebut akan menjadi harta bersama. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Agraria”) mengatur bahwa WNA tidak dapat memiliki tanah di Indonesia dengan WNI tetap dapat memiliki tanah dengan status hak milik karena sudah adanya pemisahan harta bersama dengan WNA.

Tidak hanya itu, dengan adanya pemisahan harta, calon pasangan suami istri juga dapat mengatur pemisahan utang. Sehingga, suami/istri yang tidak berutang tidak akan turut menanggung utang secara bersama-sama atau tanggung renteng, melainkan adalah tanggung jawab masing-masing.

b. Pasca Perceraian
Perjanjian pra-nikah juga bisa mengatur mengenai konsekuensi apabila suami istri bercerai, terutama apabila suami istri telah memiliki anak. Hal yang umumnya dipermasalahkan adalah mengenai hak asuh anak, di mana masing-masing suami maupun istri merasa berhak untuk mendapatkan hak asuh atas anak. Hal ini dapat dicantumkan secara khusus dalam perjanjian pra-nikah. Misalnya, dalam perjanjian pra-nikah, calon pasangan suami istri telah mengatur bahwa dalam hal terjadi perceraian akibat perselingkuhan, maka pihak yang berhak untuk mengasuh anak adalah pihak yang tidak melakukan perselingkuhan tersebut. Namun, tetap perlu diingat bahwa hak asuh atas anak diatur lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait perlindungan anak. Sehingga, pengaturan tentang hak asuh atas anak tetap tidak boleh melanggar ketentuan yang telah diatur tersebut.

Selain hak asuh atas anak, perjanjian pra-nikah juga dapat mengatur pihak yang akan menanggung biaya hidup anak dan biaya pendidikan anak setelah perceraian terjadi. Pada dasarnya, Pasal 41 huruf b UU Perkawinan telah mewajibkan seorang ayah untuk menafkahi dan membiayai kebutuhan anak meskipun telah terjadi perceraian. Namun, dalam perjanjian pra-nikah dapat diatur secara khusus mengenai pembagian tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan anak agar kebutuhan anak tetap terpenuhi.

c. Syarat bagi Istri atau Suami
Dalam bagian ini, calon pasangan suami istri dapat menuliskan syarat-syarat khusus mengenai hal yang diizinkan maupun dilarang untuk dilakukan oleh masing-masing suami atau istri. Pada dasarnya, calon pasangan suami istri bebas syarat apapun selama keduanya sepakat dan perjanjian pra-nikah tidak melanggar hukum, kesusilaan, ataupun ketertiban umum. Misalnya, Anda dapat mengatur mengenai syarat bagi istri yang bekerja untuk tetap memberikan batasan minimum waktu yang harus diluangkan untuk kepentingan keluarga.

Aspek Penting Pembuatan Perjanjian Pra-Nikah

Seperti yang telah dibahas di atas, meski dapat melindungi para pihak dari tuntutan yang mungkin muncul ketika terjadi perceraian antara suami dan istri atau terjadi perpisahan akibat kematian. Meski pembuatannya tidak diharuskan, perjanjian in disarankan untuk dibuat agar kedua belah pihak terlindungi. Agar perjanjian pra-nikah dapat disepakati dengan baik oleh calon pasangan suami istri dan juga keluarga masing-masing, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar perjanjian pra-nikah dapat dilaksanakan sesuai dengan fungsinya, antara lain adalah:

a. Keterbukaan
Perjanjian pra-nikah tidak hanya memerlukan kesepakatan calon pasangan suami istri, melainkan juga perlu dibicarakan secara terbuka dengan keluarga masing-masing. Hal ini dilakukan agar tidak ada anggota keluarga yang salah paham karena keberadaan perjanjian pra-nikah identik dengan unsur ketidakpercayaan dan perceraian. Selain itu, pembuatan perjanjian pra-nikah membantu Anda melatih diri untuk bersikap terbuka mengenai kondisi finansial Anda saat ini. Misalnya jika Anda berprofesi sebagai pengusaha, maka besar kemungkinan Anda memiliki utang saat ini maupun di kemudian hari setelah menikah, sehingga penting untuk disampaikan bahwa pembuatan perjanjian pra-nikah ini dilakukan untuk menghindari adanya pencampuran tanggung jawab atas utang di kemudian hari.

b. Kerelaan
Setelah masing-masing pihak telah terbuka mengenai harta yang dimiliki, hal selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah kesediaan suami istri untuk membuat dan menyepakati perjanjian pra-nikah sebelum melakukan tahap persiapan pernikahan. Di mana, dalam pembuatannya pun tidak boleh ada unsur keterpaksaan antara calon pasangan suami istri. Adanya unsur keterpaksaan dapat membuat perjanjian tersebut dibatalkan.


Nah, itu dia yang wajib diketahui soal perjanjian pra-nikah, sebelum kalian mantap melangkah ke jenjang selanjutnya dan memilih paket pernikahan mana yang kalian pilih, ada baiknya kalian mempertimbangkan aspek-aspek diaatas dalam membuat perjanjian pra-nikah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *