Lompat ke konten

Mengenal Tradisi Pernikahan Surabaya Turun Temurun

Manten Pegon

Catering Surabaya – Pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang biasa saat ini mengikuti budaya Barat dan Timur. Adat pernikahan tradisional mulai berubah karena ada orang yang menggunakan budaya asing untuk mengatur pernikahan mereka.

Sebenarnya banyak sekali adat pernikahan adat di Indonesia yang bisa digunakan sesuai dengan budaya kita, salah satunya adalah Manten Pegon dari Surabaya, Jawa Timur.

Manten Pegon adalah salah satu dari sekian banyak tradisi pernikahan tradisional di Indonesia yang merupakan perpaduan antara budaya Jawa, Belanda, Arab dan Cina.

Asal Usul Tradisi Manten-pegon

Ada banyak budaya pernikahan, masing-masing dengan ciri khasnya sendiri. Salah satu adat pernikahan yang cukup kuno di era ini adalah Temu Mante Pegon dari Surabaya. Kencan Manten Pegon atau lebih dikenal dengan Manten Pegon merupakan tradisi pernikahan yang sudah ada sejak lama.

Tradisi Manten Pegon merupakan salah satu dari sekian banyak upacara pernikahan tradisional Indonesia yang tetap eksis di tengah gempuran konsep pernikahan modern. Nah, sudah seharusnya saya membahas tradisi pernikahan dari Surabaya ini agar semakin banyak orang yang memahami dan mengetahuinya.

Asal Usul Tradisi Mante Pegon Tradisi pernikahan Mante Pegon ini diketahui sudah ada sejak ratusan tahun lalu di tempat yang sekarang menjadi kota Surabaya di negara bagian Jawa Timur. Menurut Genpi.id, tradisi pernikahan Manten Pegon ini diketahui melalui lukisan karya Josias Cornelis Rappard. Melalui lukisannya, ia menghadirkan upacara pernikahan kuno yang disebut Manten Pegon atau juga dikenal sebagai Loro Pangkon.

Tradisi pernikahan ini mulai populer pada abad ke-19 hingga mencapai masa keemasannya pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Namun tradisi ini perlahan mulai rusak saat kita memasuki tahun 1990-an. Uniknya, tradisi Manten Pegon merupakan perpaduan budaya Jawa, Belanda, Arab dan Cina.

Manten Pegon, yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur, telah menjadi tradisi pernikahan tradisional sejak zaman kolonial. Melalui lukisan Josias Cornelis Rappard, diperlihatkan bahwa tradisi perkawinan Mante Pegon atau yang juga dikenal dengan Loro Pangkon terus berlanjut.

Manten Pegon menjadi populer di abad ke-19 tetapi tidak disukai di akhir 90-an. Tradisi ini tentu saja banyak dipraktikkan di kalangan penduduk asli Surabaya yang kawin campur dan diwariskan secara turun-temurun.
Sebenarnya masyarakat Surabaya masih menggunakan Mante Pego, namun sangat jarang.

Yang masih menggunakan tradisi ini biasanya adalah keluarga-keluarga yang tetap menjalankan tradisi Mante Pego secara turun temurun.

Makna Upacara Tradisi Manten Pegon

Ada kemungkinan tradisi yang cukup memadai ini jarang dilakukan, karena diketahui membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melaksanakannya. Namun, setiap rangkaian upacara memiliki banyak makna yang dimiliki oleh tradisi Mante Pegon.

Tradisi Manten Pegon terbagi menjadi dua rangkaian, yaitu pranikah dan upacara pernikahan. Pranikah terdiri dari empat, nepnoi, nakokno, peningsetani, Malang mangulan dan yang terakhir adalah upacara langkah. Tradisi pernikahan ini juga termasuk prosesi, yang dilengkapi dengan beberapa tambahan. Tambahan utama adalah payung besar, yang menggambarkan bahwa payung melindungi seluruh keluarga di kedua sisi pasangan.

Jika salah satu mitra berasal dari luar, biasanya dibuat perjanjian informal untuk membuat Mante Pego. Hal ini dilakukan agar waktu tidak mengikis tradisi ini.

Mante Pegon biasanya dilakukan dalam prosesi dengan 2 kelompok, pengantin pria dan wanita. Itu dimulai ketika 2 faksi bertemu dan masing-masing faksi mengeluarkan prajurit mereka. Pendekar pedang mengeksekusi Abar si ayam jago dan mengakhiri pertarungan silat.

Secara keseluruhan, Manten Pegon terbagi menjadi dua set yaitu pre-wedding dan wedding ceremony. Pra-nikah terdiri dari nelisik, nepno, nakokno, peningsetani, malang mangulan dan yang terakhir adalah upacara langkah.
Upacara pernikahan itu sendiri hanya terdiri dari persetujuan dan diakhiri dengan pertemuan kedua mempelai.

Arak-arakan tradisi ini dilengkapi dengan beberapa tambahan. Penambahan pertama adalah payung besar, yang menggambarkan bahwa payung tersebut melindungi seluruh keluarga calon pengantin.
Lainnya adalah lerok, yaitu penari mirip kera, yang menunjukkan bahwa tidak boleh hanya melihat fisiknya saja.

Tambahan ketiga adalah rontek, yang merupakan tiruan dari bunga Manggar, yang menandakan bahwa impian untuk menjadi pasangan suami istri telah menjadi kenyataan.

Tambahan keempat adalah pahlawan, di mana seekor ayam jantan memimpin arak-arakan pengantin pria, mewakili keberanian, kegigihan dan pekerja keras.

Selain pengisian, Manten Pegon juga memiliki beberapa upacara dan pertemuan. Yang pertama adalah parikan, yang mewakili pertarungan kain di kedua sisi pengantin. Lain adalah pertarungan silat atas ayam jantan penuh uang dan permata.

Yang ketiga adalah jodhang, yaitu upacara mahar yang terdiri dari makanan ringan, pakaian, perhiasan dan makanan untuk pengantin wanita. Upacara terakhir adalah panggih, yaitu pertemuan arak-arakan perempuan dan laki-laki, dilanjutkan dengan acara sungkem, yang melambangkan pengabdian seorang perempuan kepada suaminya.

Tradisi perkawinan yang menyatukan beberapa budaya mulai memudar dan digantikan oleh budaya asing. Kita orang Indonesia harus bisa melestarikan budaya Indonesia termasuk Manten Pegon. Tidak harus menjalaninya, tetapi belajar dan berbicara Manten Pegon sudah cukup, itu telah menjadi salah satu wujud nyata kita dalam melestarikan budaya Indonesia.

Nah sekarang sudah kenal kan dengan tradisi pernikahan dari Surabaya, buat kalian yang sedang mencari paket pernikahan surabaya lengkap dan murah silahkan hubungi kami untuk lebih lanjut. Paket pernikahan yang sudah lengkap dengan catering pernikahan Surabaya 600 pax dan gedung mulai dari harga 50 juta. Yuk hubungi kami lebih lanjut di 0811-3211-445

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *